News Update :
Home » , » Kemerdekaan Berpikir

Kemerdekaan Berpikir

Published by : Unknown on Tuesday, October 14, 2014 | 12:20 PM

Oleh Ramadhani Febriantoro

Terkadang akal bebasku berpendapat, akal bebas yang berani berfikir tanpa adanya ketakutan akan dimarahi Tuhan. Akal bebasku berpendapat bahwa dalam hal tertentu ajaran Islam itu tidak sempurna. Ajaran Allah SWT itu dalam beberapa hal jelek dan beberapa ajaran manusia, yaitu manusia-manusia besar, lebih baik. Hanya karena kepercayaanku akan adanya Tuhan serta Al-Qur’an itu benar dari Tuhan serta Nabi Muhammad SAW itu manusia yang sempurna. Maka aku melawan pemikiranku dan tetap berpendapat bahwa Islam itu secara total baik dan sempurna. Akalku sendirilah yang tidak mampu meraba kesempurnaanya.

Pada kenyataannya dalam praktek berpikir selama ini kita tidak berpikir bebas lagi. Bila menilai sesuatu kita sudah bertolak pada suatu asumsi bahwa ajaran Islam itu baik dan faham-faham lain di bawahnya, lebih rendah. Ajaran Islam kita tempatkan pada tempat yang paling baik. Dan apabila tidak sesuai dengannya kita taruh dalam nilai di bawahnya. Karena Islam itu paling baik dan kita ingin menempatkan diri pada yang paling baik, maka kita selalu mengidentikkan pendapat yang kita anggap benar sebagai pendapat Islam.

Sebagian orang meminta agar saya berpikir dalam batas-batas Tauhid, sebagai pendapat globalitas ajaran Islam. Aneh, mengapa berpikir hendak dibatasi. Apakah Tuhan itu takut terhadap rasio yang diciptakan oleh Tuhan itu sendiri? Saya percaya pada Tuhan, tapi Tuhan bukanlah daerah terlarang bagi pemikiran. Tuhan ada bukan untuk tidak dipikirkan “adanya”. Tuhan bersifat wujud bukan untuk kebal dari sorotan kritik. Sesungguhnya orang yang mengakui ber-Tuhan. Tapi menolak untuk berpikir bebas berarti menolak rasionalitas eksistensinya Tuhan. Jadi dia menghina Tuhan karena kepercayaannya hanya sekedar kepura-puraan yang tersembunyi. Kalau betul-betul Islam itu membatasi kebebasan berpikir, sebaiknyalah saya berpikir lagi tentang anutan saya terhadap Islam ini. Maka hanya ada dua alternatif yaitu menjadi muslim sebagian atau setengah-setengah atau malah menjadi kafir. Namun sampai sekarang saya masih berpendapat bahwa Tuhan tidak membatasi, dan Tuhan akan bangga dengan otak saya yang selalu bertanya, tentang Dia. Saya percaya bahwa Tuhan itu segar, hidup, tidak beku. Dia tak akan mau dibekukan.

Pada hemat saya orang-orang yang berpikir itu, walaupun hasilnya salah, masih jauh lebih baik daripada orang-orang yang tidak pernah salah karena tidak pernah berpikir. Dan saya sungguh tidak dapat mengerti mengapa orang begitu phobia dengan pemikiran bebas. Walaupun itu ada kemungkinan efek jeleknya, tapi kegunaannya akan jauh lebih besar daripada mudharatnya. Malahan orang yang takut untuk berpikir bebas itu ditimpa oleh ketakutan dan keraguan akan kepura-puraannya yang sudah tak terlihat. Dia ragu untuk berkata bahwa ada satu pikiran yang dia benamkan di bawah sadarnya. Pikiran yang dibenamkan ini dia larang untuk muncul dalam kesadarannya. Padahal, dengan berpikir bebas manusia akan lebih tahu tentang dirinya sendiri. Manusia akan lebih banyak tahu tentang kemanusiaannya. Mungkin akan ada orang yang mengemukakan bahaya dari berpikir bebas yaitu orang yang berpikir bebas itu cenderung atau bahkan bisa jadi atheis. Betulkah? Orang yang sama sekali tidak berpikir juga bisa atheis! Lebih baik atheis karena berpikir bebas daripada atheis karena tidak berpikir sama sekali. Ya, Meskipun sama-sama jelek. Dengan berpikir bebas bisa salah hasilnya. Dengan tidak berpikir bebas juga bisa salah hasilnya. Lalu mana yang lebih potensial untuk tidak salah? Dan mana yang lebih potensial untuk menemukan kebenaraan-kebenaran baru? Saya kira orang yang tidak mau berpikir bebas itu telah menyia-nyiakan hadiah  Allah yang begitu berharga yaitu otak. Saya berdoa agar Tuhan memberi petunjuk pada orang-orang yang tidak menggunakan otaknya sepenuhnya. Dan sebaiknya saya pun sadar bahwa para pemikir bebas itu adalah orang-orang yang senantiasa gelisah. Kegelisahan itu memang dicarinya. Dia gelisah untuk memikirkan macam-macam hal terutama hal-hal yang dasariah dengan semata-mata berpijak pada obyektivitas akal. Saya sungguh tidak mendewa-dewakan kekuatan berpikir manusia sehinga seolah-olah absolut. 

Kekuatan berpikir manusia itu memang ada batasnya, sekali lagi ada batasnya! Tapi siapa yang tau batasnya itu? Otak atau pikiran sendiri tidak bisa menentukan sebelumnya. Batas kekuatan itu akan diketahui manakala otak kita sudah sampai di sana dan percobaan-percobaan untuk menembusnya selalu gagal. Karena itu manakala “keterbatasan kekuatan berpikir, maka jelas statement ini tidak berarti dan mungkin salah besar. Otak itu akan melampaui batas kekuatannya. Kalau sudah terang begitu, apa gunanya kita mempersoalkan batas, kalau di luar batas itu sudah di luar kemampuannya? Hal ini sudah dengan sendirinya, tak perlu dipersoalkan. Berikanlah otak itu kebebasan untuk bekerja dalam keterbatasannya, yaitu keterbatasan yang hanya otak itu sendiri yang tahu. Selama otak itu masih bisa bekerja atau berpikir, itulah tanda bahwa ia masih dalam batas kemampuannya. Dalam batas-batas kemampuannya dia bebas. Jadi dalam, tiap-tiap bekerja dan berpikir otak itu bebas.

Kalau suatu golongan atau umumnya umat Islam lemah, dalam suatu peristiwa atau hal tertentu, maka dengan cepat orang-orang terpelajar muslim—berkata bahwa yang salah adalah orang Islamnya bukan Islamnya. Ini adalah suatu bentuk dari tidak adanya kebebasan berpikir. Orang takut untuk mempertimbangkan kemungkinan adanya kritik terhadap Islam. Kemungkinan adanya kritik sudah ditutup karena Islam sudah apriori dianggap betul dan kebal terhadap kemungkunan mengandung kelemahan. Apakah tidak mungkin Islam itu sendiri mengandung kelemahan? Saya sendiri sampai sekarang masih bertanya-tanya. Saya ingin menjadi muslim yang baik dengan selalu bertanya. Saya tidak bisa mengelak dari pikiran. Di mana saya berada, kemana saya menuju, di situ dan ke sana pikiran itu ada dan bertanya. Bekerjanya pikiran itu telah melekat pada adanya manusia. Tak ada kerja pikir berarti tak ada manusia. Karena itu tak ada jalan lain kecuali menggunakan daya pikir itu semaksimal mungkin. Dan titik akhir dari usaha dan menilai usaha ialah kematian!
Share this article :

Post a Comment

 
Tentang Dunia Insan Kamil | Hubungi Kami | Disclaimer
| Copyright © 2013. Dunia Insan Kamil . All Rights Reserved.
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger