Oleh Ardi Yusman
Menurut skema “indah” yang diajukan oleh evolusionis, evolusi internal dari genus Homo adalah sebagai berikut: Pertama Homo Erectus, kemudian apa yang disebut sebagai Homo Saphiens “kuno” dan manusia Neanderthal (Homo Saphiens Neanderthalensis), dan akhirnya manusia Cro-Magnon (Homo Saphiens Saphiens). Akan tetapi semua pengelompokan ini sebenarnya hanyalah variasi dan ras-ras yang khas dalam keluarga manusia. Perbedaan antara mereka tidak lebih besar daripada perbedaan antara suku Inuit dengan suku Afrika, atau suku pygmi dengan orang Eropa.
Alasan utama evolusionsi mendefenisikan Homo Erectus sebagai “primitf” adalah kapasitas otak tengkorak mereka yang berkisar antara 900 – 1.100 cc, yang lebih kecil daripada rata-rata manusia modern, dan alis tebal mereka yang menonjol. Akan tetapi, banyak orang yang hidup saat ini di bumi yang memiliki kapasitas tengkorak yang sama dengan Homo Erectus (suku pygmi, contohnya) dan ras lain yang memiliki alis yang menonjol (penduduk Australia, misalnya). Ada fakta yang secara umum disetujui bahwa perbedaan pada kapsitas tengkorak tidak selalu menunjukkan perbedaan dalam kecerdasan dan kemampuan. Kecerdasan lebih bergantung pada organisasi internal otak, daripada volumenya. Fosil yang telah membuat Homo Erectus terkenal di seluruh dunia adalah fosil dari manusia Peking dan manusia Jawa di Asia. Namun, kemudian disadari bahwa kedua fosil ini tidak dapat dipercaya.
Kebudyaan berlayar Homo Erectus menjadi salah satu fenomena yang dianggap bahwa Homo Erectus merupakan salah satu nenek moyang manusia sekarang. “Ancient Mariners: Early humans were much smarter than we suspected” (Pelaut purba: manusia kuno lebih pintar dari yang kita duga). Menurut artikel New Scientist terbitan 14 Maret 1998 ini, manusia yang dinamai Homo Erectus oleh evolusionis, telah melakukan pelayaran sejak 700 ribu tahun yang lalu. Tentu saja, mustahil menganggap manusia yang mempunyai pengetahuan, teknologi, dan budaya berlayar sebagai “makhluk purba”.
Post a Comment