Oleh Admin Dunia Insan Kamil
Ringkasan Inti NDP "Beriman, Berilmu dan Beramal"
Kalau teman-teman melihat NDP, tentu saja dibagi-bagi menjadi beberapa bagian. Yang pertama “Dasar-Dasar Kepercayaan”, “Kemanusiaan”, “Kemerdekaan Manusia”, “Ikhtiar dan Takdir”, ini tentu saja banyak sekali unsur dan tulisan H. Agus Salim; Filsafat tentang Tauhid, Takdir dan Tawakkal misalnya. Kemudian “Ketuhanan Yang Maha Esa dan Perikemanusiaan”, atau “Individu dan Masyarakat”, “Keadilan Sosial” dan “Keadilan Ekonomi”, “Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan”, lalu kesimpulan dan penutup. Saya tidak akan menerangkan semua NDP. “Dengan demikian sikap hidup manusia menjadi sangat sederhana. Yaitu beriman, berilmu dan beramal”. Ya, biasa, kalau suatu ungkapan yang sudah menjadi klise, itu tidak menggugah apa-apa. Apa makna beriman, berilmu, beramal, saya kira itu telah menjadi kata-kata harian.
Saya kira hidup beriman, tentu saja personal, pribadi sifatnya. Setiap manusia itu harus menyadari tidak bisa tidak harus punya nilai. Oleh karena itu iman adalah primer. Iman adalah segalanya. Oleh karena iman disitu adalah sandaran nilai kita, ini kemudian diungkapkan secara panjang lebar dalam bab Dasar-Dasar Kepercayaan. Kenapa manusia memiliki kepercayaan. Di situ, misalnya, kita menghadapi satu dilema; satu dilema pada manusia, yang dikembangkan dalam Syahadat La ilaha ilallah. Tiada Tuhan melainkan Allah SWT. Di sini kita bagi dalam dua, nafyu dan itsbat. Artinya negasi dan afirmasi.
Sebab bangsa Muslim yang pertama yang bukan orang Arab, itu yang besar adalah orang Persi. Memang sebelum itu orang Syiria, Mesir, semua bukan Arab. Tetapi mungkin karena latar belakang kultural mereka itu tidak begitu kuat, maka mereka ter-Arabkan sama sekali, Sehingga orang Mesir sekarang sudah tidak ada lagi. Mereka semua menjadi orang Arab. Termasuk Khadafi yang keturunan Kartago, itu juga menjadi orang Arab. Kalau dari sejarah, Khadafi itu lebih dekat dengan orang-orang Yunani, orang Romawi dan sebagainya sebagai keturunan Kartago. Libya bukan tempatnya orang-orang Kartago dulu dan mereka itu lebih banyak orang-orang Quraisy. Tetapi mereka menjadi Arab dan berbahasa Arab. Maka, yang disebut dengan bangsa-bangsa Arab itu, secara darah sebetulnya sebagian besar bukan orang-orang Arab, tetapi orang yang berbahasa Arab.
Bangsa Muslim yang pertama bukan Arab dan sampai sekarang tidak berhasil di-Arabkan adalah bangsa Persi. Padahal secara geografis itu paling dekat dengan dunia Arab. Mengapa? Karena latar belakang kebudayaan Persi yang besar itu paling dekat dengan dunia Arab. Mengapa? Karena latar belakang kebudayaan Persi yang besar itu, sehingga mereka tidak bisa di-Arabkan. Oleh karena itu, bangsa Persi-lah yang pertama kali menghadapi masalah terjemahan ini sebabg Islam datang dengan berbahasa Arab. Sehingga mazhab Hanafi yang Abu Hanifah itu sendiri orang Persi – berpendapat, sembahyang dalam terjemahan itu boleh. Itulah sebabnya mengapa orang-orang Persi selalu menggunakan Khoda untuk Allah. Kita mengetahui bahwa bahasa Persi itu adalah satu rumpun dengan bahasa Jerman, Inggris dan Sansekerta. Sehingga Baitullah misalnya, mereka terjemahkan menjadi Khanih-e Khoda. Maka dari itu, ketika zaman modern sekarang ini dan umat Islam mulai menyebar ke mana-mana termasuk ke negeri-negeri Barat, maka ada persoalan, yaitu kalau Al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, misalnya, bagaimana menerjemahkan? Apakah Allah harus diterjemahkan menjadi God, ataukah tidak. Itu sudah ada dua pendapat. Misalnya, The Meaning of The Glorious Qur’an tidak menerjemahkan perkataan Allah. Sama sekali tidak. Tetapi sebaliknya Yusuf Ali yang orang Pakistan, yang tafsirnya juga diterbitkan oleh Rabithah Alam Islami di Mekkah, menerjemahkan Allah dengan God sehingga dalam terjemahan dia, itu tidak ada sama sekali perkataan Allah, karena jadi God semua. Dan Khomeini yang sekarang mendirikan negara Islam di Iran, konstitusinya dalam versi bahasa Inggris, menerjemahkan la ilaaha illa-Allah, dengan there is no god but God. Ini penting mengapa ulasan ini agak panjang karena ada implikasinya. Yaitu salah satu problem kita di Indonesia ini ialah bahwa tradisi intelektual Islam kita masih muda sekali, sehingga orang sering kehilangan jejak, akhirnya bingung. Buku Yusuf Ali yang saya beli dari Mekkah yaitu ketika saya mengadakan kunjungan ke beberapa negara ke Timur Tengah diberi pengantar dari sekjend Rabithah Alam Islami. Kita bisa melihat sekarang di sini misalnya perkataan la ilaaha illa-Allah bagaimana diterjemahkan. Begitu juga dalam tafsir Muhammad Asada tau dalam Konstitusinya Khomeini. Kita boleh tidak setuju dengan ajaran Syi’ah, tetapi jangan phobia. Justru bobot NDP sebetulnya menghilangkan itu. Sedangkan Islam itu sendiri berada di tengah-tengah umat manusia. Jadi, kita ini harus muslim di tengah umat Islam itu sendiri. Oleh karena itu, mungkin saudara-saudara juga tahu bahwa saya selalu mengatakan tidak setuju dengan sensor. Orang boleh dengan tidak setuju dengan suatu paham, tetapi jangan menyensor.
Karena itu sebenarnya, di Indonesia kata Allah itu diterjemahkan menjadi kata Tuhan. Menurut saya bisa, Khomeini saja bisa kok, mengapa kita tidak bisa. Itu Yusuf bisa, bahkan itu diterbitkan oleh Rabithah Alam Islami. Jadi, tiada Tuhan dengan t kecil (tuhan), kecuali Tuhan itu bisa. Waktu itu saya tidak tahu, bahwa Buya Hamka pernah menerangkan hal ini, sehingga ketika saya terlibat dalam polemic itu ada seorang teman yang bersuka rela memberika kepada saya copy dari polemik Buya Hamka dengan seseorang melalui surat menyurat. Dan sekarang sudah diterbitkan dalam sebuah buku, yaitu Hamka Menjawab Masalah-masalah Agama.
Dalam psikologi agama ada yang disebut dengan convert complex. Convert artinya orang yang baru saja memeluk agama. Lalu complex, perasaan sebagai agamawan baru. Misalnya, di masyarakat ada saja bekas tokoh yang kurang senang pada agama, lalu menjadi fundamentalistik sekali.
Nah, karena tradisi intelektual kita itu begitu muda, begitu rapuh, kita sering kehilangan jejak. Kemudian bingung. Ada cerita menyangkut dua orang Minang: H. Agus Salim dan Sutan Takdir Alisyahbana. Sudah tahulah Takdir Alisyahbana, seorang yang mengaku sebagai orang yang modern dan sangat rasionalistik, oleh karena itu, dia pengagum Ibnu Rusd. Dia selalu bilang, dunia ini kan persoalan pertengkaran antara Ghazali dan Ibnu Rusd. Karena di dunia Islam Ghazali yang menang dan di dunia Barat, Ibnu Rusd yang menang, maka akhirnya Ibnu Rusd yang menjajah Ghazali. Jadi Indonesia dijajah Belanda itu sebetulnya Ghazali dijajah Ibnu Rusd, menurut Takdir Alisyahbana. Karena apa? Ghazali mewakili mistisisme, intuisisme, sedangkan Ibnu Rusd mewakili rasionalissme.
Ada betulnya juga, meskipun tidak seluruhnya. Suatu saat pak Takdir konon menggugat H. Agus Salim. Katanya begini, “Pak Haji, pak haji ini kan orang terpelajar sekali, masa masih biasa sembahyang. Artinya, kok masih mempercayai agama?’ Lalu dibilang oleh H. Agus Salim, “Maksud saudara apa?”, “Maksud saya, sebagai orang terpelajar saya tidak membenarkan sesuatu kecuali saya paham betul”. Betul memang begitu, Al-Qur’an sendiri menyatakan begitu. Akan tetapi begini, kita kan terbatas, karena terbatas kalau rasio kita sudah pol begitu, maka sebagian kita serahkan kepada iman.” Jadi, masalah iman itu adalah bagian daripada hidup dan itu adalah kewajiban daripada rasional kita. Rupanya Takdir belum puas dengan jawaba itu. Lalu Salim membuat jawaban yang lucu dan benar. Di bilang begini, “Begini aja deh, Takdir kan orang Minang. Kan suka pulang ke Minangkabau, pulang kampung, naik apa?” “naik kapal” jawab Takdir. Rupanya waktu itu belum bisa naik pesawat, pesawat belum begitu banyak. “Nah”, kata Agus Salim, “Kamu naik kapal itu menyalahi prinsipmu, kamu tidak akan menerima sesuatu kecuali kalau paham seluruhnya. Jadi asumsinya, kalau kamu naik kapal, adalah kalau sudah paham tentang seluruhnya yang ada di dalam kapal itu. Termasuk bagaimana kapal dibikin, bagaimana menjalankan, bagaimana kompasnya, bagaimana ini dan sebagainya. Nah, begitu ketika kamu menginjakkan kaki ke gealada kapal Tanjung Priok, itu kan sudah ada masalah iman. Kamu percaya kepada nakhoda, kamu percaya kepada orang yang bikin kapal ini bahwa ini nanti tidak pecah di Selat Sunda dan kamu kemudian tenggelam. Percaya, percaya dan semua deretan kepercayaan.
Agus Salim melanjutkan, “Sedikit sekali yang kamu ketahui tentang kapal. Paling-paling bagaimana tiketnya dijual di loketnya saja yang kamu tahu. Pembuatan tiket juga kamu tidak tahu” katanya. Lalu Salim bilang begini, “Seandainya kamu konsisten dengan jalan pikiran kamu hai Takdir, mustinya kamu pulang ke Minang itu berenang. Ya, begitu sebab berenang itu yang paling memungkinkan usahamu. Itu saja masih banyak sekali masalah. Bagaimana gerak tangan kamu saja mungkin kamu tidak paham, “katanya, lalu ini yang menarik,”Nanti kalau kamu berenang di Selat Sunda kamu di ombang-ambing ombak dan kamu akan berpegang pada apa saja yang ada. Dalam keadaan panik, kamu akan berpegang pada apa saja yang ada. Untung kalau kamu ketemu balok yang mengambang. Akan tetapi, kalau kamu ketemu ranting, itupun akan kamu pegang. Ketemu barang-barang kuning juga kamu pegang”. Itu kata Agus Salim.
Post a Comment